Faktor Iklim Pada Budidaya Tebu Lahan Kering
Main Article Content
Abstract
Harga gula pasir, yang sekarang sudah mencapai lebih dari Rp 12.000,-/kg nampak semakin sulit dikendalikan Harga gula yang semakin menggiurkan tersebut akan memicu perusahaan-perusahaan gula nasional meningkatkan produktivitas tebu (Tonne Cane Per Hectare :TCH) dan rendemen giling supaya diperoleh produktivitas gula (Tonne Sugar per Hectare:TSH) tinggi sehingga diperoleh keuntungan besar. Produksi tebu merupakan fungsi dari tanaman, tanah, iklim, dan tindakan budidaya. Faktor iklim adalah faktor yang tidak bisa dimanipulasi sehingga merupakan salah satu faktor penting yang sangat perlu untuk dipertimbangkan pada budidaya tebu lahan kering. Di beberapa lokasi pabrik gula di Indonesia dilaporkan bahwa TCH, rendemen giling, dan TSH mengalami penurunan akibat pengaruh iklim, yaitu akibat bergesernya (mundur) saat turun hujan pada masa pemeliharaan tebu dan hujan yang masih turun dengan curah hujan cukup tinggi pada saat panen (tebang) tebu. Saat turun hujan yang terlambat menyebabkan tanaman tebu mengalami kekeringan dan berupaya untuk bertahan hidup dengan cara mengurangi/membatasi penguapan, seperti menutup stomata daun, dan memperlambat pertumbuhan tanaman (ditandai dengan ruas-ruas tebu yang pendek) sehingga pada saat dipanen akan dihasilkan TCH rendah. Hujan yang masih turun ketika musim panen tebu menjadi penyebab utama turunnya rendemen giling dan tidak terangkutnya tebu tebang karena mobilitas kendaraan-kendaraan angkut yang sangat rendah pada kondisi tanah becek yang mengakibatkan turunnya TSH dan kapasitas giling (Tonne Cane per Day:TCD). Disamping itu, penggunaan mesin-mesin tebang tebu juga tidak bisa efektif akibat kondisi tanah tidak mendukung untuk pengoperasian mesin-mesin tersebut. Dengan demikian, perlu ditataulang perencanaan dan teknik budidaya tebu lahan kering, termasuk mekanisasi, guna mengantisipasi dampak perubahan iklim yang dapat mempengaruhi besaran TCH, rendemen giling, TSH, dan TCD.
Sugar price was seemed more and more complicated controlled, that now it achieved more than Rp 12,000,00/kg. The fantastic sugar price would initiate national sugar companies to increase sugarcane productivity (TCH) and yield mill in order to achieve high sugar productivity (TSH) so that the companies would obtain big profit. Sugarcane production was as a function of plant, soil, climate, and cultivation effort. Climate factor was non-manipulated factor so that it was one of important factor that must be considered on dry land sugarcane cultivation. In several locations of sugarcane factories in Indonesia, it reported that the decreasing of TCH, yield mill, and TSH were caused by climate impact that is caused by late rainy season on sugarcane maintenance activities and big precipitations during sugarcane harvesting season. The late rainy season caused draught period for sugarcane plants and it attempt to survive by decreased or restricted its evaporation, for example it closed its leaves stomata and it decelerated its growth (which it signed by short stem sections) so that it would caused low sugarcane productivity. The rain during harvesting season would be main factor for yield mill decreasing and harvested sugarcane could not be loaded because of very low vehicles mobility on wet soil surface conditions that caused decreasing of sugar productivity and milling capacity (TCD). Beside that, sugarcane harvester machines could not be applied effectively as a result of wet soil conditions could not support for that machines operation. It can be concluded that it must be rearranged for dry land sugarcane cultivation planning to anticipate climate alteration impact that can influence TCH, yield mill, TSH, and TCD achievements.
Article Details
catatan copyright agar disepakati oleh penulis.
Penulis sepakat dengan ketentuan-ketentuan dalam etika publikasi
Penulis menyatakan bahwa karya tulis yang diserahkan untuk diterbitkan adalah asli, belum pernah dipublikasikan di manapun dalam bahasa apapun, dan tidak sedang dalam proses pengajuan ke penerbit lain
References
Ditjen Horti. 2010. Laporan Hasil Penjajagan (Survey) ke Beberapa Lokasi Aplikasi Irigasi Curah di Provinsi Jawa Barat. Cianjur, Pengalengan, dan Lembang, tanggal 14 – 15 April 2010. Direktorat Jenderal Hortikultura, Departemen Pertanian Republik Indonesia
Fauconnier, R. 1993. The Tropical Agriculturalist, Sugar Cane. London: The Macmillan Press Ltd.
Julian. 2010. Produksi Gula Terancam. http://agroindonesia.co.id/2010/07/13/ produksi-gulaterancam/ [diakses 18 November 2010]
Kuntohartono, T. dan J. P. Thijsse. 2009. Detil Data Saccharum officinarum Linn. http://www.kehati.or.id/florakita/browser.php?
docsid=698 [10 Juni 2009]
Miza. 2009. Analisis Kandungan Unsur N dan P Tebu Transgenik PS-IPB 1 Yang Mengekspresikan Gen Fitase. Program Studi Manajemen Sumberdaya Lahan, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, IPB, Bogor
Plantus. 2010. Meningkatkan Produksi Gula dengan Menenmukan Varietas Tebu Baru. [diakses 18 November 2010]
Pramuhadi, G. 2010. Laporan Aplikasi Pupuk Daun di PG Jatitujuh, Majalengka, Jawa Barat Periode 20 November 2009 – 20 April 2010.
Kerjasama Fakultas Teknologi Pertanian IPB dengan PT Indo Poodaeng Chitosan Makmur
SKP Tebu Jatim. 2005. Standar Karakterik Pertumbuhan Tebu. Jawa Timur. http://tebu.mine.nu/karakteristik_tebu/standar_karakterik _pertumbuhan.htm [diakses 10 Juni 2009]
Sudiatso, S. 1980. Bertanam Tebu. Bogor : IPB. Sudiatso, S. 2010. Multitex – Geotextile. http://www.blog-catalog.com/blogs/geotextiledistributor-indonesia [diakses 28 Oktober 2010]
Sudiatso, S. 2010. Stump cutter. FAE Group S.p.A Zona Produttiva,
Italy. http://iowafarmequipment.com/fae-skid-steer-tractorstump-
grinders.html [diakses 30 November 2010]